OPINI
By. Budiman S.H., M.H.I (Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
Kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalaam menunjukkan bahwa beliau memiliki kecerdasan akal yang tinggi. Tetapi dia tidak hanya mengandalkan kecerdasan akal saja dalam mencari dan memperjuangkan ajaran tauhid. Di samping akal, beliau memiliki kecerdasan hati yang suci, tanpa noda dan kekeruhan di dalamnya.
اذ جاء ربه
بقلب سليم
Kita mesti
berupaya untuk mengasah kecerdasan akal dan hati secara integral dan seimbang.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak bisa hanya semata-mata menggunakan
akal, apalagi IQ. Akal memang mesti didayagunakan, sebab agama hanyalah untuk
orang yang berakal. Tetapi akal yang dimaksud adalah akal yang tidak
bertentangan dengan hati nurani.
Sebab
acapkali kita jumpai orang yang mengedepankan rasionalitasnya dan mengabaikan
bahkan membohongi hati nuraninya. Mereka mengakal-akali suatu kesalahan agar
diterima sebagai suatu kebenaran dengan maksud dan tujuan tertentu untuk kepentingan
diri dan kelompoknya.
Ibadah
haji sarat dengan simbol. Seseorang baru bisa mengecap manisnya haji mabrur,
jika ia mampu menerapkan dalam kehidupan bermasyarakat makna simbol dalam
ibadah haji itu. Wuquf di Arafah, misalnya, yang menjadi inti dan puncak
syariat haji adalah simbol pengenalan terhadap jati diri manusia yang kerap
terabaikan. Arafah yang berakar dari kata عرف (kenal) salah satu maknanya
adalah "padang pengenalan".
Wuquf di
Arafah adalah momentum mengenali jati diri sebagai manusia. Jati diri manusia
bukan dilihat dari wujud lahiriahnya. Karena itu di Arafah seluruh simbol
pembungkus lahiriah ditanggalkan dan diganti dalam bentuknya yang paling
sederhana, pakaian ihram. Kain putih tak berjahit, yang bermakna tanpa status,
tanpa atribut, simbol pakaian terakhir yang dikenakan ketika manusia meninggal
dunia.
Kunjungan
ziarah ruhani manusia ke tanah suci seolah simulasi kematian dan gladi bersih
manusia memasuki alam akhirat. Orang yang berziarah ke dua tanah suci
hakikatnya sedang berziarah ke alam akhirat. Yang menempel di dirinya hanya dua
helai kain putih sebagai simbol kematian, kain kafan.
Tidak
boleh memakai wangi-wangian, tidak boleh menggunting kuku, tidak boleh ini dan
itu, karena hakikatnya ia sedang mati, dan sebagaimana layaknya orang mati,
tidak dapat bergerak, tidak dapat memotong kuku dan lainnya. Pendeknya, ibadah
haji dan juga kurban merupakan ajakan kepada seluruh manusia untuk "mati
sebelum mati" atau "mati dalam hidup".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar